Wisata Ziarah ke Makam Serewe, Lombok Tengah



Masih edisi tradisi perang, kalau di Lombok Barat ada perang ketupat sebagai wujud kerukunan agama islam-hindu, di Lombok Tengah juga ada tradisi perang yang dinamakan Perang Timbung atau Penimbungan yang tujuannya untuk upacara tolak marabahaya dan mengharapkan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa serta menjalin silaturrahmi dan kerukunan warga antara satu dengan lainnya tanpa adanya perbedaan. Perang timbung ini bagi masyarakat Lombok juga merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu, karena ada mitos yang berkembang di masyarakat sekitarnya bahwa terkadang prosesi perang timbung ini dijadikan sebagai ajang mencari jodoh dan sebagai saranan untuk menentukan hari baik. Timbung merupakan jajan tradisional suku Sasak Lombok yang terbuat dari bahan beras ketan yang dicampur dengan air perasan santan. Kedua bahan ini lalu dimasukkan dalam bambu dan dibakar dalam bara api.
Perang timbung ini dilaksanakan di desa pejanggik salah satu desa tertua di wilayah lombok yang merupakan daerah bekas pusat kerajaan. Acara dipusatkan di makam Serewe yang merupakan kompleks makam raja-raja Pejanggik dan keluarganya. Sama halnya dengan perang ketupat, upacara perang timbung inipun sebelumnya diawali dengan segala macam prosesi adat diantaranya parade budaya sasak, mengambil air suci di bale beleq (rumah besar) yang terletak di areal pemakaman di desa Pejanggik serta prosesi adat lainnya. Perangpun dimulai setelah diikuti dengan pukulan kentongan (kul-kul), hanya bedanya dengan perang ketupat, perang timbung ini lebih asik, karena perangnya antara cowok ma cewek..Sejarah terjadinya Perang Timbung/Penimbungan ini adalah salah satu fatwa yang dititahkan oleh seorang Datu (Raja) yang berkuasa di sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan Poh Jenggi (PEJANGGIQ). Di kerajaan ini bertahta seorang Raja yang sangat bijaksana, Raja ini bertahta dengan gelar Datu Dewa Mas Pemban Aji Meraja Kusuma (Datu Pemban Pejanggiq). Kerajaan Pejanggiq adalah sebuah kerajaan fazal dari kerajaan Selaparang yang mempunyai pusat kerajaan di Perigi (Lombok Timur) yang memerintah di kerajaan Fazal Selaparang (PEJANGGIQ) ini adalah keturunan dari raja-raja Selaparang.Ketika bertahta Dewa Mas Pemban Aji Meraja Kusuma di Pejanggiq ini, kondisi Kerajaan pada waktu itu sedang mengalami adanya kesalahpahaman dan ketidakharmonisan dengan kerajaan pusat yang akibatnya akan bermuara kepada konflik internal kerajaan. Sebagai seorang raja yang sangat fanatik dengan Islam, maka raja yang arif dan alim ini melalukan persemedian (Tapa Brata/berhaluat), dimana dalam haluatnya baginda mendapat hidayah dari Yang Maha Kuasa yaitu petunjuk bahwa Negeri ini akan ditimpa petaka yang sangat dahsyat dan akan mengalami keruntuhan.
Baginda Raja mengakhiri haluatnya dengan memanggil seluruh Pemating (punggawa kerajaan) dan semua Pandite (tabib) yang ada untuk mentakbir hidayah yang datang di haluat baginda Raja, hidayah ini dibahas berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Disaat Gondem dilakukan oleh semua perkanggo Kerajaan, muncul salah seorang Pandite sepuh mengajukan usul kepada Baginda bahwa sesuatu itu adalah rahmat, dan rahmat itu senantiasa diturunkan oleh Tuhan selalu dengan hikmahnya, demikian pula jika hal ini adalah sebuah Penyakit, maka Tuhan akan menurunkan penawarnya. Demi keberlangsungan Gumi Paer (tanah pulau) kerajaan Pejanggiq dan langgengnya kekuasaan raja kiranya apa yang akan terjadi di negeri ini akan diantisipasi dengan tumbal, dan tumbal disini bukan berarti mengorbankan sesuatu yang sangat berlebihan, akan tetapi dalam hal ini sang raja cukup dengan bertitah kepada segenap Kawule (rakyat) Kerajaan Pejanggiq untuk melakukan ritual Tolak Balaq (Tolak Bala) dengan membuat jajan Pelemeng (timbung) yang terbuat dari Beras Pulut/ketan yang dicampur dengan perasan santan kental dan dibungkus dengan bilah bambu.
Baginda Rajapun memerintahkan kepada para punggawa kerajaan agar semua mengerahkan seluruh kawule/masyarakat Pejanggiq agar melakukan upacara ritual tersebut sebagai wujud implementasi keputusan gondem, dengan tidak menunda-nunda waktu semua Punggawa dengan segera memukul kentongan (kul-kul) sebagai pertanda adanya dedawuhan dari kerajaan, dengan kul-kul semua kalawarga masyarakat Gumi Paer Pejanggiq ketika itu berduyun-duyun mendatangi alun-alun (lendang galuh) untuk menerima titah sang raja. Datu berinstruksi langsung kepada khalayak dengan titahnya bahwa pada suatu saat nanti, kerajaan Pejanggiq ini akan mengalami bencana perpecahan, perpecahan ini akan berakibat kepada keruntuhan kerajaan, perpecahan ini nantinya akan timbul dari dalam negeri ini sendiri. untuk itu kepada seluruh kawula agar melaksanakan sebuah upacara ritual sebagai upaya antisipasi agar tidak terjadinya bencana itu, caranya membuat timbung untuk bahan dari upacara tersebut sebagai wujud persembahan kepada sang pencipta, menyantuni anak-anak yatim/piatu, menyayangi orang-orang tua dan memperkuat kebersamaan melalui silaturrahmi diantara semua kawula. Upacara ini hendaknya dilakukan setiap tahun dan ditahun itu akan ada tanda-tanda alam seperti berbunganya sebuah pohon besar disekitar makam raja kelak (pohon Dangah). Jangan sekali-kali melakukan ritual ini pada hari jumat minggu terakhir pada bulan bersangkutan. Sabda raja adalah sabda pandite, sabda pandite adalah andika mulia apapun yang tititahkan raja maka segenap kalawarga kerajaan Pejanggiq akan senantiasa melaksanakannya, pantang jika perintah raja ditolak karena itu adalah berbuatan melawan atau pemali (tabu) apalagi ini adalah perintah melakukan ritual.dan saat ini Makam Serewe menjadi obyek wisata Ziarah kota lombok Tengah.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment